KAJIAN HUKUM
TENTANG
KERJASAMA PRODUKSI PANGAN OLAHAN
I.
LANDASAN
HUKUM
1. Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2. Undang-Undang nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan.
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis.
4.
Peraturan Pemerintah nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004
tentang keamanan mutu dan gizi pangan.
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pencatatan
Perjanjian Lisensi Kekayaan Intelektual.
7.
Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011
Tentang Pengawasan
Kemasan Pangan
8.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2016 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan.
9.
Anggaran dasar Perseroan
II.
LATAR BELAKANG MASALAH
PT Global Pangan Sejahtera “PT GPS” akan melakukan kerjasa dengan PT Trans Indo Raya “PT TIR” dengan ruang lingkup kerjasama adalah
produksi dan distribusi pangan olahan berupa teh hitam bubuk dan kopi bubuk.
Kegiatan produksi dilakukan oleh PT GPS, selanjutnya produk yang telah siap
edar akan didistribusikan oleh PT TIR menggunakan merek “modini” yang saat ini
dalam proses pengalihan hak atas merek atas milik PT Cahaya Abadi Tiga “PT
CAT”.
III.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a Apakah PT GPS dapat melaksanakan kegiatan usaha produksi
panganan olahan dan melakukan kerjasama dengan pihak lain dibidang distribusi
pangan olahan?
b Apakah bentuk kerjasama dalam pelaksanaan
kegiatan tersebut ?
c Apakah PT GPS dapat menggunakan merek
milik pihak lain untuk digunakan dalam produk pangan olahan yang diproduksi PT
GPS?
IV.
KAJIAN HUKUM
A.
Kemasan dan label produk makanan
1. Kemasan
UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan mengatur tentang peredaran produk
makanan, mulai dari pengolahan, pengemasan sampai pemasarannya. Beberapa
definisi terkait kegiatan produksi makanan diantaranaya : [1]
-
Produksi pangan adalah kegiatan atau
proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas,
mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan.
-
Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran
untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan
Pangan dengan memperoleh imbalan.
-
Kemasan pangan adalah
bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
Pengaturan tentang kemasan
pangan lebih lanjut diatur dalam PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan sebagai pelaksana UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan yang telah
dicabut UU 18/2012 (sepanjang pasal-pasalnya tidak bertentangan dengan UU No.
18 Tahun 2012). Pasal 19 mengatur bahwa setiap orang yang melakukan
produksi pangan yang akan diedarkan wajib
melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap pangan. Pihak yang wajib melakukan pengemasan
adalah produsen pangan selaku pihak yang melakukan produksi.
Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan
wajib menggunakan bahan kemasan yang diizinkan dan dilarang menggunakan bahan
apapun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan/atau yang dapat
melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia[2].
Selanjutnya dalam hal
standarisasi kemasan pangan diatur dalam Pasal 82 sampai dengan pasal 84 UU No.
18 Tahun 2012 sebagai berikut :
Bagian Keenam
Standar Kemasan Pangan
Pasal 82
(1). Kemasan Pangan
berfungsi untuk mencegah
terjadinya pembusukan dan kerusakan,
melindungi produk dari kotoran, dan
membebaskan Pangan dari
jasad renik patogen.
(2). Setiap Orang
yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan wajib menggunakan bahan Kemasan
Pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 83
(1). Setiap Orang
yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apapun sebagai Kemasan Pangan yang
dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan manusia.
(2). Pengemasan
Pangan yang diedarkan dilakukan melalui tatacara yang dapat menghindarkan
terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran.
(3). Ketentuan
mengenai Kemasan Pangan, tata cara pengemasan Pangan, dan bahan yang dilarang
digunakan sebagai Kemasan Pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 84
(1). Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan
untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2). Ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Pangan yang
pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil
untuk diperdagangkan lebih lanjut.
Bahan kemasan yang dizinkan diatur dalam
Perkap BPOM No.
HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011. Bahan yang diizinkan digunakan sebagai Kemasan Pangan terdiri atas :
a.
Zat
Kontak Pangan; setiap zat yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai komponen
bahan kemasan pangan yang digunakan dalam pembuatan, pengepakan, pengemasan,
dan penyimpanan pangan, yang jika dalam penggunaannya tidak dimaksudkan untuk
memberikan efek teknis terhadap pangan.
b.
Bahan
Kontak Pangan yaitu bahan kemasan pangan yang dimaksudkan untuk bersentuhan
dengan pangan.
Penetapan jenis Zat Kontak Pangan dan
Bahan Kontak Pangan terdapat dalam lampiran Perkap BPOM No. HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011
2. Label Produk Makanan
Pengaturan label dalam kemasan produk makanan terdapat dalam Pasal 96
sampai dengan 103 UU No. 18 Tahun 2012 dan PP No.
69 tahun 1999. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan
pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian
kemasan pangan[3]. Label Pangan bertujuan untuk
memberikan informasi yang benar dan
jelas kepada masyarakat tentang
setiap produk Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi Pangan[4]. Informasi tersebut terkait dengan asal,
keamanan, mutu, kandungan Gizi, dan keterangan lain yang diperlukan.
Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan[5]. Pencantuman Label dilakukan sedemikian
rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak,
serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca[6].
Pencantuman
label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan
menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai [7]:
a).
nama
produk;
b).
daftar
bahan yang digunakan;
c).
berat
bersih atau isi bersih;
d).
nama
dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
e).
halal bagi yang dipersyaratkan;
f).
tanggal
dan kode produksi;
g).
tanggal,
bulan, dan tahun kedaluwarsa;
h).
nomor
izin edar bagi Pangan Olahan;dan
i).
asal
usul bahan Pangan tertentu.
Dengan memperhatikan ketentuan tersebut di atas,
bagian utama Label sekurang-kurangnya memuat
:
a. nama produk;
b. berat bersih atau isi bersih;
c. nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia.
Ketentuan label sebagaimana tersebut di atas tidak berlaku bagi perdagangan
pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. Pencantuman pernyataan tentang
manfaat pangan bagi kesehatan dalam Label hanya dapat dilakukan apabila
didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan[8].
3.
Merek
Pengaturan tentang merek diatur
di UU No. 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Merek adalah tanda yang dapat
ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 {tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa[9].
Pemegang hak atas merek memiliki Hak atas Merek yaitu hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau mernberikan izin kepada
pihak lain untuk menggunakannya.
Pemegang hak atas merek dapat
memberikan izin kepada pihak lainnya untuk menggunakan merek miliknya,
pemberian izin terebut dibingkai dalam suatu kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian
Lisensi dengan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 42
(1).
Pemilik Merek terdaftar dapat memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk
menggunakan Merek tersebut baik sebagian maupun seluruh jenis barang dan/atau
jasa.
(2).
Perjanjian Lisensi
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali bila
diperjanjikan lain.
(3).
Perjanjian
Lisensi wajib dimohonkan pencatatannya kepada Menteri dengan dikenai biaya.
(4).
Perjanjian
Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat oleh Menteri dan diumumkan
dalam Berita Resmi Merek.
(5).
Perjanjian
Lisensi yang tidak dicatatkan tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
Pernilik Merek terdaftar yang
telah memberikan Lisensi kepada pihak lain tetap dapat menggunakan sendiri atau
memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk menggunakan Merek tersebut,
kecuali diperjanjikan lain[10].
Akibat hukum dari pemberian lisensi merek kepada pihak lain maka penerima
lisensi merek mempunyai hak yang sama dengan pemilik Merek untuk menggunakan
merek terdaftar tersebut di wilayah Indonesia.
Klausul dalam Perjanjian Lisensi
diatur dalam PP
No. 36 Tahun 2018 khususnya Pasal 7 ayat (2) yang
paling sedikit memuat:
a. tanggal, bulan, tahun, dan tempat perjanjian Lisensiditandatangani;
b. nama dan alamat pemberi Lisensi dan penerimaLisensi;
c. objek perjanjian Lisensi;
d. ketentuan mengenai Lisensi bersifat eksklusif atau noneksklusif, termasuk
sublisensi;
e.
jangka waktu perjanjian
Lisensi;
f.
wilayah berlakunya
perjanjian Lisensi; dan
g.
pihak yang melakukan
pembayaran biaya tahunan untuk paten.
Selanjutnya, apabila Perjanjian Lisensi telah dibuat secara sah dan
mengikat para pihak (pemberi lisensi dan penerima lisensi) maka Perjanjian
tersebut wajibdilakukan pencatatan oleh Menteri dalam hal ini Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kementerian Hukum dan HAM.
B. Perijinan Peredaran Produk Pangan
Olahan
1.
Izin Edar
Setiap Pangan Olahan baik
yang di produksi di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki Izin Edar[11].
Izin Edar adalah persetujuan hasil Penilaian Pangan Olahan yang diterbitkan
oleh Kepala Badan dalam rangka peredaran Pangan Olahan.
Pendaftaran untuk mendapatkan
izin edar dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
a.
Pendaftaran Baru adalah
pendaftaran Pangan Olahan yang belum mendapatkan Izin Edar.
b.
Pendaftaran Variasi
adalah pendaftaran perubahan data Pangan Olahan yang sudah memiliki Izin Edar
dengan tidak menyebabkan perubahan Nomor Izin Edar dan/atau perubahan Biaya Evaluasi dan Pendaftaran.
Perubahan sebagaimana dimaksud
dalam Pendaftaran Variasi adalah perubahan data mayor dan minor
Perubahan data mayor dapat berupa:
-
perubahan desain label;
-
pencantuman dan atau
perubahan Informasi Nilai Gizi;
-
perubahan dan/atau
penambahan klaim; dan/atau
-
perubahan komposisi dan/
atau proses produksi.
Perubahan data minor dapat berupa :
- perubahan nama produsen;
- perubahan nama dan/atau alamat Importir/Distributor;
- perubahan nama dagang;
- perubahan nama jenis;
- perubahan dan/atau penambahan berat/isi bersih;
- pencantuman tulisan halal dan/atau Tanda Standar Nasional Indonesia (SNI);
- perubahan untuk kepentingan promosi dalam waktu tertentu;
- perubahan masa simpan; dan/atauperubahan format kode produksi.
c.
Pendaftaran Ulang adalah
pendaftaran perpanjangan masa berlaku Izin Edar
Pangan Olahan. Pendaftaran Ulang Pangan Olahan hanya dapat dilakukan untuk
Pangan Olahan yang sama dengan yang disetujui sebelumnya. Apabila Pangan Olahan yang didaftarkan ulang
telah mengalami perubahan, maka Perusahaan harus melakukan Pendaftaran Variasi
terlebih dahulu atau mengajukan Pendaftaran Baru.
2.
Pelaksanaan Pendaftaran
Pihak yang wajib
melaksanakan pendaftaran Pangan Olahan yang diproduksi di Indonesia untuk
memperoleh ijin edar ditentukan berdasarkan kriteria pangan olahan sebagaimana
dalam Pasal 5 ayat (1) Perkap BPOM No. 12 Tahun 2016 sebagai berikut :
a.
Pangan Olahan yang
diproduksi sendiri diajukan oleh Produsen.
b.
Pangan Olahan yang
diproduksi berdasarkan kontrak (toll manufacturing/makloon) diajukan
oleh pihak Pemberi Kontrak.
Pangan Olahan yang
diproduksi berdasarkan kontrak adalah pangan yang diproduksi oleh penerima
kontrak atas permintaan pemberi kontrak :
- Penerima Kontrak adalah industri di bidang
Pangan Olahan yang menerima pekerjaan pembuatan Pangan Olahan berdasarkan
kontrak dan memiliki izin usaha sesuai dengan jenis Pangan Olahan yang diproduksi.
-
Pemberi
Kontrak adalah perorangan dan/atau badan usaha yang memiliki izin usaha di
bidang produksi Pangan, yang menggunakan sarana produksi pihak lain berdasarkan
kontrak yang harus memiliki izin usaha di bidang pangan.
Pihak yang
memproduksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut [12]:
-
memiliki
izin usaha untuk jenis pangan yang didaftarkan sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan; dan
-
memenuhi
persyaratan cara produksi Pangan yang baik untuk jenis Pangan yang didaftarkan.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tentang regulasi pelaksanaan dan
pengaturan produksi sampai distribusi pangan olahan, untuk itu menjawab isu
hukum dalam kajian hukum ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. PT GPS telah memiliki Ijin Usaha Industri
untuk produk pangan berupa kopi bubuk dan teh hitam bubuk, oleh karena itu
persyaratan sebagai produsen pangan olahan telah terpenuhi. PT GPS selaku
produsen mengemas dan sekaligus memberikan label dalam produk pangan tersebut.
Kewajiban PT GPS selaku produsen produk pangan olahan adalah sebagai berikut :
a.
memiliki
izin usaha untuk jenis pangan yang didaftarkan sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan.
b.
melakukan pengemasan pangan secara benar untuk
menghindari terjadinya pencemaran
terhadap pangan.
c.
pengemasan
wajib menggunakan bahan kemasan yang diizinkan.
d.
mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. Dalam label tersebut dicantumkan nama pihak yang memproduksi yaitu PT Global Pangan Sejahtera.
e.
melakukan pendaftaran untuk mendapatkan
izin edar setiap produk makanan olahan.
Dengan telah terpenuhinya persyaratan tersebut di
atas, maka PT GPS dapat melaksanakan kegiatan usaha dan melakukan kerjasama
dengan pihak lain dalam hal ini PT TIRN dalam hal distribusi produk pangan
olahan kopi bubuk dan teh hitam bubuk.
2.
Bentuk
kerjasama antara PT GPS dengan PT TIRN adalah kerjasama distribusi produk
pangan olahan. dengan kewajiban PT GPS adalah melakukan produksi sampai
memproses produk tersebut layak edar sedangkan untuk PT TIR adalah melakukan distribusi produk pangan
olahan terbebut.
3. Produk pangan olahan berupa teh hitam
bubuk dan kopi bubuk yang diproduksi PT GPS akan menggunakan merek “Modini”.
Merek modini bukan merupakan hak milik PT GPS melainkan milik “PT CAT” (saat ini dalam proses pengalihan hak atas
merek dari PT CAT), oleh
karena itu sebagai landasan hukum PT GPS dalam penggunaan merek tersebut adalah
harus dibuat Perjanjian Lisensi antara PT GPS dengan PT CAT (apabila hak sudah beralih secara sah)
dan selanjutnya Perjanjian Lisensi tersebut dicatatkan ke Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kementerian Hukum dan HAM.
[1] Pasal 1 UU Nomor 18 Tahun 2012
[2] Pasal 16 PP No. 28 Tahun 2004
[6] Pasal 2 ayat (2) PP No. 69
tahun 1999.
[7] Pasal 97 ayat (3) UU No.18 Tahun 2012.
[8] Pasal 6 ayat (1) PP No. 69 tahun 1999.
[9] Pasal 2 ayat (1) UU 20 Tahun 2016.
[10] Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2016
[12] Pasal 10 ayat (1) Perkap BPOM No. 12 Tahun
201
Komentar