Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan Jasa




Prinsip-prinsip persaingan usaha
Penerapan prinsip persaingan usaha yang sehat dalam kebijakan pemerintah dan dalam regulasi di sektor ekonomi merupakan tujuan untuk  mewujudkan iklim usaha yang kompetitif dalam usaha mencapai perekonomian yang berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi pelaku usaha. Menjadi hal yang sangat penting dalam mengutamakan penerapan asas-asas persaingan usaha dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang melahirkan aturan-aturan hukum dalam berbagai tingkatan agar tidak menimbulkan regulasi yang tidak sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Prinsip Hukum
Prinsip atau asas hukum merupakan inti dari peraturan hukum yang dijadikan sebagai filosofi dalam norma-norma aturan hukum. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantung atau hatinya norma hukum (peraturan hukum). Menurut G.W.Paton hal ini didasari pemikiran :
Pertama, asas hukum merupakan “landasan” yang paling luas bagi lahirnya suatu norma hukum. Dengan demikian, setiap norma hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas hukum dimaksud;
Kedua, asas hukum merupakan “alasan” bagi lahirnya suatu norma hukum atau merupakan “ratio legis” dari norma hukum. Asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya dengan melahirkan norma hukum, melainkan tetap ada dan akan terus melahirkan norma hukum-norma hukum yang baru.
Asas hukum menjadi penentu tujuan norma hukum dan menjadi inti maksud dari suatu peraturan.[1] Prinsip hukum akan menjadi landasan lahirnya suatu peraturan hukum yang kemudian dirumuskan pula konsep-konsep hukum yang memberikan pengetahuan dan informasi mengenai hukum yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum.[2]  
Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting dalam menentukan asas hukum sebagai dasar, arah dan pedoman dalam merumuskan norma-norma hukum sebagai inti dalam aturan hukum supaya aturan-aturan hukum  sejenis yang dilahirkan tidak saling bertentangan satu sama lain dan dapat menjadi acuan dalam menafsirkan dan menginterpretasikan secara benar suatu aturan-aturan hukum dalam pelaksanaanya.
Pengaturan larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Sebagai komitmen pemerintah untuk mewujudkan pembangunan perekonomian yang berkeadilan serta terciptanya efisiensi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, maka dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan salah satu yang melatar belakanginya adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang sehat. Tujuan dari pembuatan Undang-undang tersebut tertuang dalam Pasal 3 yang berbunyi :
  1. menjaga  kepentingan  umum  dan  meningkatkan  efisiensi  ekonomi  nasional  sebagai  salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
  2. mewujudkan  iklim  usaha  yang  kondusif  melalui  pengaturan  persaingan  usaha  yang  sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil,
  3. mencegah  praktek  monopoli  dan  atau  persaingan  usaha  tidak  sehat  yang  ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
  4. terciptanya  efektivitas  dan  efisiensi  dalam  kegiatan  usaha.
     Dengan memperhatikan secara seksama tujuan di atas, kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-undang Persaingan Usaha adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas.
        Asas dan tujuan yang terkandung dalam Undang-Undang  nomor 5 tahun 1999 tertuang dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya keadilan yaitu dengan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
        Tujuan undang-undang persaingan usaha dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum tujuan diberlakukannya undang-undang persaingan usaha, seperti yang terdapat di beberapa negara adalah untuk menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaanya. Dengan kata lain, bahwa tujuan persaingan usaha itu juga untuk melindungi persaingan itu sendiri dengan menghapuskan atau mencegah pengekangan/pembatasan usaha swasta maupun publik yang dapat mengakibatkan atau merugikan proses persaingan itu sendiri.[3] Sedangkan tujuan khusus undang-undang persaingan usaha adalah untuk melidungi sistem kompetisi.[4]
        Prinsip yang terkandung dalam UU No. 5 Tahun 1999 senantiasa menjadi acuan utama dalam pembentukan regulasi di sektor ekonomi untuk mewujudkan tujuan yang terkandung didalamnya khusunya untuk menghindari persaingan usaha yang tidak sehat.
Persaingan usaha yang tidak sehat
        Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (6) UU No. 5 Tahun 1999 bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut dapat diuraikan bahwa persaingan usaha tidak sehat dilakukan oleh pelaku usaha dengan cara tidak jujur atau melawan hukum yang berakibat menghambat persaingan usaha.
     Sedangkan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian persaingan usaha tidak sehat tersebut antara lain :
1.      Adanya cara yang tidak jujur dalam melakukan kegiatan usaha;
2.      Cara yang dilakukan itu merupakan perbuatan melawan hukum;
3.      Perbuatan melawan hukum dimaksudkan untuk meniadakan persaingan;
4.      Ada perbuatan berupa restrictive trade practice atau barrier to entry;
5.      Perbuatan tersebut dilakukan antar sesama pelaku usaha.[5]  
Kegiatan yang dilarang yang menghambat persaingan
Asas atau prinsip yang terkandung dalam undang-undang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menjadi landasan norma-norma hukum dalam undang-undang tersebut, dalam aturan tersebut ditentukan kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat, diantaranya monopoli, penguasaan pasar dan persekongkolan sebagaimana dimaksud dalam BAB IV UU No. 5 Tahun 1999.
Monopoli
Pengertian monopoli sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha, sedangkan dalam ayat (2) disebutkan bahwa praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor   11 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) UU No. 5 Tahun 1999, teorinya menyebutkan bahwa munculnya monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
Monopoli yang terjadi karena pelaku usaha memiliki kemampuan teknis tertentu seperti :
1. pelaku usaha memiliki kemampuan atau pengetahuan khusus yang memungkinkan melakukan efisiensi dalam berproduksi.
2. skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi maka biaya marjinal semakin menurun sehingga biaya produksi per unit (averagecost) makin rendah.
3. pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi, baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun lokasi produksi.
Monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, yaitu
1.   hak atas kekayaaan intelektual.
2.  hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh Pemerintah kepada pelaku usaha eksklusif, yaitu yang diberikan oleh Pemerintah kepada pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha yang lain, misalnya agen tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal. Pada umumnya hal ini terkait dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, asalkan diatur dalam undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.[6]
Pemberian hak usaha eksklusif merupakan salah satu penyebab hambatan masuk (barriers to entry), yaitu hambatan yuridis. Beberapa perusahaan memiliki daya monopoli karena secara hukum mereka diberi hak monopoli (legal monopoly) oleh Pemerintah.
Pengaturan monopoli sendiri lebih khusus diatur dalam Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut :
1.      Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau
2.      pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadiny praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3.      Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
4.      produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila :
5.      barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
6.      mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau
7.      satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu”.[7]
Dalam berbagai literatur disebutkan, bahwa banyak pengaruh/dampak negatif sehubungan dengan dilakukannya monopoli oleh pelaku atau sekelompok pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya, yaitu antara lain :
Adanya peningkatan harga produk barang maupun jasa tertentu sebagai akibat tidak adanya persaingan sehat, sehingga harga yang tinggi dapat memicu/penyebab terjadinya inflasi yang merugikan masyarakat luas
Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan dia berpotensi untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan keuntungan yang berlipat, tanpa memperhatikan pilihan-pilihan konsumen, sehingga konsumen mau tidak mau tetap akan mengkonsumsi produk barang dan jasa tertentu yang dihasilkannya.
Terjadi eksploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak pilihan pada konsumen untuk mengkonsumsi produk lainnya, sehingga konsumen tidak peduli lagi pada masalah kualitas serta harga produk. Eksploitasi ini juga akan berpengaruh pada karyawan serta buruh yang bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji dan upah yang ditetapkan sewenang-wenang, tanpa memperhatikan aturan main yang berlaku;
Terjadi inefisiensi dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan usahanya yang pada akhirnya dibebankan pada masyarakat luas/konsumen berkaitan dengan produk yang dihasilkannya, karena monopolist tidak lagi mampu menekan average cost secara minimal;
Terjadi entry barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga pada gilirannya perusahaan kecil yang tidak mampu masuk ke pasar monopoli akan mengalami kesulitan untuk dapat bekembang secara wajar dan pada akhirnya akan bangkrut;
Menciptakan pendapatan yang tidak merata, dimana sumber dana serta modal akan tersedot ke perusahaan monopoli, sehingga masyarakat/konsumen dalam jumlah yang besar terpaksa harus berbagi pendapatan yang jumlahnya relatif kecil dengan masyarakat lainnya, sementara segelintir (dalam jumlah kecil) monopolis akan menikmati keuntungan yang lebih besar dari yang diterima oleh masyarakat. [8]
Penguasaan Pasar
Sebagai salah satu kegiatan yang dilarang, pengaturan larangan penguasaan pasar terdapat dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
1.      menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
2.    menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
3.      membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
4.      melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan bahwa : “pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa”. Salah satu kegiatan penguasaan pasar yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 adalah praktek diskriminasi. Diskriminasi dapat diartikan sebagai setiap perlakuan yang berbeda yang dilakukan terhadap satu pihak tertentu. Kegiatan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu merupakan penentuan perlakuan dengan cara yang berbeda mengenai persyaratan pemasikan atau persyaratan pembelian barang dan jasa.
Unsur-unsur yang terdapat dalam praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu sebagaimana dijelaskan dalam  Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf D (Praktek Diskriminasi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah :
1.      Unsur pelaku usaha
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999, pelaku usaha adalah :
”Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
2.      Unsur melakukan baik sendiri maupun bersama
Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan dan perbuatan independen tanpa bekerjasama dengan pelaku usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha dalam pasar bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan dalam kegiatan usaha yang sama.
3.      Unsur pelaku usaha lain
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan secara bersama-sama pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
4.      Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan
Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing.
5.      Unsur yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1999: “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.
6.      Unsur persaingan usaha tidak sehat
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999: Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7.      Unsur melakukan praktek diskriminasi
Praktek diskriminasi merupakan tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang dilakukan oleh satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.[9]
Lebih lanjut lagi diuraikan dalam peraturan KPPU tersebut bahwa praktek diskriminasi yang melanggar Pasal 19 huruf d adalah sebagai berikut :
1.         penunjukkan langsung dalam suatu pekerjaan, tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima.
2.         menolak melakukan hubungan usaha dengan pihak tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima.
3.         menetapkan persyaratan tertentu yang mengarah kepada perusahaan tertentu tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima.
4.         menetapkan syarat yang berbeda untuk pelaku usaha yang berbeda dalam pasar yang sama tanpa justifikasi legal, sosial, ekonomi, teknis dan alasan lainnya yang dapat diterima.
5.         dalam hal yang terkait program Pemerintah seperti pengembangan UKM, penetapan syarat yang sama antara UKM dengan usaha besar dapat dirasakan oleh UKM sebagai persyaratan yang diskriminatif sehingga dikategorikan melanggar Pasal 19 huruf d.
Pasal 19 sampai Pasal 21 UU No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara Rule of Reason sehingga penguasaan pasar itu sendiri menurut pasal-pasal tersebut, tidak secara mutlak dilarang. Penguasaan pasar yang dilarang apabila penguasaan pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, akhirnya disalahgunakan dan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu disimak bahwa penguasaan pasarnya sendiri belum tentu merupakan pelanggaran, yang harus dianalisa adalah akibat dari penguasaan pasar yang dimilikinya, apakah mencerminkan perbuatan yang anti kompetitif dan menghambat serta merugikan pelaku usaha pesaingnya dalam pasar yang bersangkutan atau tidak.[10]  
Persekongkolan
Salah satu kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah persekongkolan sebagaimana dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. Adapun pengertian persekongkolan disebut dalam Pasal 1 ayat (8) yang menjelaskan bahwa : “persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”. Persekongkolan dapat mengakibatkan kepada terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal  22 UU No. 5 Tahun 1999, maka pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan dalam tender tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Persekongkolan ini mencakup jangkauan perilaku yang luas, antara lain usaha produksi dan.atau distribusi, kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan harga, dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (collusive tender) yang dapat terjadi melalui kesepakatan antara kedua pihak tersebut. Kolusi atau persekongkolan tender ini bertujuan untuk membatasi pesaing lain yang potensial untuk berusaha dalam pasar bersangkutan dengan cara menentukan pemenang tender. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta tender, hingga pengumuman tender.[11]
Unsur persekongkolan yang terdapat dalam Pasal 22 No. 5 Tahun 1999 adalah adanya perbuatan pengaturan dan/atau menentukan pemenang tender yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, persaingan yang tidak sehat disini dapat diartikan dengan jalan menghalang-halangi pelaku usaha lain untuk masuk (entry barrier). Persekongkolan dapat juga dilakukan antara para pihak dengan melakukan kesepakatan/kerjasama sebatas untuk memenuhi aturan sehingga dapat menjadikan pihak yang bersekongkol memenangkan tender tanpa harus melalui proses tender.
Kebijakan Sinergi Badan Usaha Milik Negara dalam pengadaan barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara
Pengertian Sinergi BUMN
Sinergi berasal dari bahasa Yunani “synergos” yang berarti bekerja bersama-sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Sinergi berarti kegiatan atau operasional gabungan, atau dapat juga diartikan bahwa sinergi adalah proses interaksi dalam bentuk kerjasama atau hubungan kemitraan yang produktif serta harmonis untuk memberikan hasil yang positif dan bermanfaat bagi pihak yang melaksanakannya.
Prinsip sinergi tersebut telah dijadikan sebagai pedoman kementerian BUMN dalam membuat kebijakan bagi BUMN dalam menjalankan usahanya, bahwa dalam rangka sinergi BUMN, BUMN agar memprioritaskan bekerja sama dengan BUMN lain dan/atau Anak Perusahaan BUMN sebagai Mitra baik dalam penyediaan barang dan jasa maupun dalam kerjasama pendayagunaan aset. Prioritas tersebut nampak dalam proses pemilihan mitra kerjasama, dengan memberikan keistimewaan pada BUMN lain dan/atau Anak Perusahaan BUMN berupa penunjukan langsung tanpa adanya proses kualifikasi atau proses pemilihan sebagaimana diterapkan pada pelaku usaha sejenis diluar lingkup BUMN.
Sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan jasa
Prinsip sinergi BUMN diimplementasikan oleh Pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN dengan memberlakukannya Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara dan telah diubah dengan PER-15/MBU/2012. Dalam Pasal 2 ayat (4) berbunyi :
“Penggunaan barang dan jasa mengutamakan sinergi antar BUMN, Anak Perusahaan BUMN dan/atau perusahaan terafiliasi BUMN atau antara anak perusahaan BUMN dan/atau antar perusahaan terafiliasi BUMN atau antar Anak Perusahaan BUMN dan/atau antar Perusahaan Terafiliasi BUMN, dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha atau perekonomian”.
Peraturan Menteri BUMN tersebut diberlakukan bukan hanya bagi BUMN, namun diberlakukan pula terhadap Anak Perusahaan BUMN dan Perusahaan Terafiliasi BUMN, Anak Perusahaan BUMN yang sahamnya lebih dan 50% dan kurang dari 90% dimiliki oleh BUMN atau perusahaan terafiliasi BUMN yang sahamnya lebih dari 50% dan kurang dan 90% dimiliki oleh Anak Perusahaan BUMN, gabungan Anak Perusahaan BUMN, atau gabungan Anak Perusahaan BUMN dengan BUMN
Dalam peraturan menteri tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara berlandaskan pada asas-asas pengadaan barang dan jasa yang mengandung prinsip efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar, serta akuntabel. Sedangkan tujuan dari pengaturan pengadaan barang dan jasa BUMN sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 adalah meningkatkan efisiensi; mendukung penciptaan nilai tambah BUMN; menyederhanakan penciptaan nilai tambah BUMN; menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan; meningkatkan kemandirian, tanggung jawab dan profesionalisme; meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri; meningkatkan sinergi antar BUMN dan/atau Anak Perusahaan.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dan terbaik sesuai prinsip dalam pengadaan barang dan jasa, maka dalam peraturan menteri tersebut mengatur beberapa cara pelelangan :
1.  pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan.
2.  pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa konsultan, yaitu pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurang-kurangnya 2 (dua) penawaran.
3.    penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest.
4.   pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar.
Selanjutnya dalam Pasal 9 diatur mengenai metode penunjukan langsung, yaitu cara pengadaan barang dan jasa dengan menujuk langsung 1 (satu) atau lebih Penyedia Barang dan Jasa.  Dalam Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa penunjukan langsung penyedia barang dan jasa dapat dilaksanakan apabila memenuhi minimal salah satu persyaratan sebagai berikut :
1.  Barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kinerja utama perusahaan dan tidak dapat ditunda keberadaannya (business critical asset).
2.      Penyedia Barang dan Jasa dimaksud hanya satu-satunya (barang spesifik).
3.      Barang dan jasa yang bersifat knowledge intensive dimana untuk menggunakan dan memelihara produk tersebut membutuhkan kelangsungan pengetahuan dari Penyedia Barang dan Jasa.
4.      Bila pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa dengan menggunakan cara pelelangan terbuka dan pemilihan langsung telah dua kali dilakukan namun peserta pelelangan atau pemilihan langsung tidak memenuhi kriteria atau tidak ada pihak yang mengikuti pelelangan atau pemilihan langsung, sekalipun ketentuan dan syaratsyarat telah memenuhi kewajaran.
5.      Barang dan jasa yang dimiliki oleh pemegang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau yang memiliki jaminan (warranty) dari Original Equipment Manufacture.
6.      Penanganan darurat untuk keamanan, keselamatan masyarakat, dan aset strategis perusahaan.
7.      Barang dan jasa yang merupakan pembelian berulang (repeat order) sepanjang harga yang ditawarkan menguntungkan dengan tidak mengorbankan kualitas barang dan jasa.
8.      Penanganan darurat akibat bencana alam, baik yang bersifat lokal maupun nasional;
9.      Barang dan jasa lanjutan yang secara teknis merupakan satu kesatuan yang sifatnya tidak dapat dipecah-pecah dari pekerjaan yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
10.  Penyedia barang dan jasa adalah BUMN, Anak Perusahaan BUMN atau Perusahaan Terafiliasi BUMN, sepanjang barang dan/atau jasa dimaksud adalah merupakan produk atau layanan dari BUMN, Anak Perusahaan BUMN, Perusahaan Terafiliasi BUMN, dan/atau usaha kecil dan mikro, dan sepanjang kualitas, harga, dan tujuannya dapat dipertanggungjawabkan, serta dimungkinkan dalam peraturan sektoral.
11.  Pengadaan barang dan jasa dalam jumlah dan nilai tertentu yang ditetapkan Direksi dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris.
Pengaturan terkait sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan jasa diwujudkan dalam Pasal 9 ayat (3)  dengan memberikan peluang penunjukan langsung dalam hal penyedia barang dan jasa adalah BUMN, Anak Perusahaan BUMN atau Perusahaan Terafiliasi BUMN, selanjutnya dalam pasal 9 ayat (4) menegaskan bahwa Penunjukkan langsung kepada BUMN, Anak Perusahaan BUMN, dan Perusahaan Terafiliasi BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j, diprioritaskan kepada Anak Perusahaan BUMN atau Perusahaan Terafilisiasi BUMN yang bersangkutan.
Mekanisme penunjukan langsung tersebut tidak hanya dibatasi untuk BUMN saja namun dapat juga dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN atau Perusahaan Terafiliasi BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 12A ayat (3) peraturan Menteri BUMN Nomor PER-15/MBU/2012 sebagai berikut :
1.      Anak Perusahaan BUMN dan/atau Perusahaan Terafiliasi BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat menunjuk langsung BUMN atau saling melakukan penunjukkan langsung.
2.      Anak perusahaan BUMN dan perusahaan terafiliasi BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat menunjuk langsung BUMN, Anak Perusahaan BUMN, atau Perusahaan Terafiliasi BUMN
Penunjukan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf  b, dapat dilakukan sepanjang dapat meningkatkan efisiensi usaha atau perekonomian dan dimungkinkan dalam peraturan sektoral.
Adapun tujuan Sinergi BUMN adalah melakukan proses pengadaan secara cepat, fleksibel, kompetitif, efisien dan efektif tanpa kehilangan momentum bisnis sehingga mengakibatkan kerugian perusahaan. Tujuan dan alasan hukum yang tampaknya filosofis tersebut ternyata menimbulkan dua kesimpulan yang berbeda, tertutama berkaitan dengan penunjukan langsung. Disamping itu, berbagai alasan tersebut dapat menyimpang dari tujuan semula, jika penyelenggara di lapangan tidak memiliki pemahaman tentang maksud dan tujuan pembentukan regulasi tersebut. Bahkan, jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan BUMN tersebut, akan mengakibatkan multiplier effect, baik terhadap perusahaan khususnya, dan kerugian Negara secara luas.[12]
Dengan tujuan dan lingkup penerapan prinsip sinergi sebagaimana tersebut di atas, maka sinergi yang diterapkan di lingkungan BUMN adalah untuk membentuk kerjasama atau hubungan kemitraan yang produktif serta harmonis dalam pengadaan barang dan jasa dengan memberikan keistimewaan terhadap BUMN termasuk juga Anak Perusahaan BUMN dan perusahaan terafiliasi BUMN sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang positif dan bermanfaat di lingkungan BUMN.

Tugas dan Wewenang KPPU
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah diatur secara rinci dalam Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999, yang disebutkan lagi dalam Pasal 4 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999. KPPU memiliki beberapa tugas yang meliputi :
1.      melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.
2.    melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24.
3.      melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28.
4.         mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36.
5.     memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
6.         menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undangundang ini.
7.    memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.[16]
     Dari beberapa tugas KPPU sebagaimana diuraikan di atas, selain tugas penegakan hukum atas kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan yang tidak sehat oleh para pelaku usaha, KPPU mempunyai tugas sesuai ketentuan Pasal 35 huruf (e) UU. No. 5 Tahun 1999 yaitu memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
     Saran dan pertimbangan sesuai Pasal 35 huruf (e) UU. No. 5 Tahun 199 tidak dibatasi apakah dilaksanakan setelah timbul praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat akibat pelaksanaan regulasi tersebut ataukah sebelum timbul praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat. Beberapa regulasi pemerintah yang dapat menghambat persaingan usaha yang sehat antara lain regulasi yang dapat menghambat pelaku usaha untuk masuk, memberi hak eksklusif untuk penyediaan barang dan jasa tertentu, diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu sehingga menimbulkan praktek monopoli, dan regulasi yang berpotentensi menimbulkan persekongkolan tender.
     Dalam menjalankan tugas-tugas KPPU sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang, KPPU memiliki sejumlah kewenangan yang diperinci dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
1.      menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2.      melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3.       melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
4.       menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5.       memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
6.    memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7.       meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
8.    meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
9.      mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10.   memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
11.    memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12.  menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.[17]
     Terhadap kebijakan pemerintah yang dapat menghambat persaingan usaha yang sehat, tindakan KPPU hanya sebatas memberikan saran dan pertimbangan. Terhadap saran dan pertimbangan tersebut tidak mengikat institusi yang melanggarnya dan tidak terdapat sanksi didalamnya namun saran dan pertimbangan tersebut tetap harus dilaksankan karena hal ini menyangkut kesejahteraan masyarakat.



[1] Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, h.47.
[2] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h.85.
[3] L. Budi Kagramanto, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Laros, Sidoarjo, 2015, h. 13.
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 66
[6] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pedoman Pasal 17 (Praktek Monopoli) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[7] Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Yang Tidak Sehat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817
[8] Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1998, h. 30.
[9] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 19 Huruf D (Praktek Diskriminasi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[10] Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 260
[11] Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 480.
[12] Anna Maria Tri Anggraini, “Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan/atau Jasa dalam Perspektif Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Edisi 9, Juli 2013, h.64.
[13] L. Budi Kagramanto, Op.Cit., h. 94
[14] Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 693
[15] Ibid., h. 694.
[16] Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Yang Tidak Sehat.
[17] Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Yang Tidak Sehat.

Komentar