Seorang kawan yang merupakan karyawan tetap sebuah
perusahaan manufaktur dengan masa kerja 10 tahun up sedang galau hatinya.
Kantor tempatnya bekerja tiba-tiba mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan
karyawannya yang memiliki hubungan perkawinan dengan rekan satu kantor agar
salah satu mengundurkan diri. Kawan saya ini dan pasangannya, keduanya adalah
sulung dari keluarga besar yang merupakan tulang punggung dari keluarga
masing-masing. Mereka harus membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga
mereka sendiri. Di sisi lain juga harus membesarkan dan membiayai biaya sekolah
adik-adiknya di kampung halaman. Berbagai tanda tanya menggelayut di
pikirannya. Apakah yang harus ia lakukan selepas resign dari kantornya. Hutang
masih menumpuk sementara membuka usaha baru pun butuh modal yang tidak sedikit.
Dia menanyakan hak-hak apa saja yang ia peroleh dengan adanya pengunduran diri tersebut dan upaya hukum apa
yang bisa ia lakukan untuk memperjuangkan haknya sebagai pekerja.
Hubungan Kerja
Sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 butir 15 Hubungan Kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Disebutkan bahwa sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Kesepakatan dari
mereka yang mengikatkan diri,
2. Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan,
3. Suatu hal tertentu,
dan
4. Suatu sebab yang
halal.
Dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 52 Ayat (1), sahnya suatu perjanjian kerja dibuat atas dasar :
1) Kesepakatan kedua
belah pihak
2) Kemampuan atau
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum
3) Adanya pekerjaan yang
diperjanjikan,dan
4) Pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau
lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara lisan hanya untuk Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan harus disertai dengan surat pengangkatan.
Sementara untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) wajib dibuat secara
tertulis. PKWT yang dibuat secara lisan atau tidak tertulis adalah bertentangan
dengan ketentuan dan berakhibat hukum menjadi PKWTT dengan segala hak dan
kewajibannya.
Perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jika hal ini dilanggar maka akan mengakibatkan perjanjian kerja
tersebut batal demi hukum.
Pasal 153 Ayat 2 UUK huruf f menegaskan bahwa
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
: pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.
Akhibatnya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana
dimaksud berakhibat batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Hak Pekerja
No.
|
Alasan PHK
|
Dasar Hukum UUK
|
Hak Pekerja
|
1.
|
Pengunduran diri karyawan secara sepihak
|
Pasal 154 Ayat (4)
|
Uang Penggantian Hak yang terdiri atas :
- Cuti tahunan yang belum diambil oleh
karyawan dan belum lewat masa berlakuknya.
- Biaya pulang untuk pekerja
dan keluarganya ke tempat asal.
- Biaya penggantian perumahan,
pengobatan, dan perawatan dengan ketetapan besaran 15% dari uang pesangon
atau UPMK bagi karyawan yang telah memenuhi syarat.
- Segala hal lain yang telah
ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan.
|
2.
|
Pemutusan Hubungan Kerja
|
Pasal 156 Ayat (1)
|
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
penghitungan uang penghargaan masa kerja untuk masa
kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun
adalah 4 (empat) bulan upah;
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima adalah
:
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
meliputi:
- cuti tahunan
yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
- penggantian perumahan serta
pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”
|
Kembali pada kasus di atas, untuk pemutusan hubungan
kerja dengan alasan pengunduran diri (ata permintaan pengusaha) menurut hemat
kami jika karyawan menerima permintaan Pengusaha untuk mengundurkan diri jika hal
ini saling disepakati kedua belah pihak maka Pengusaha wajib memberikan hak
Pekerja minimal sama seperti Pemutusan Hubungan Kerja bahwa permintaan
pengunduran diri dari Pengusaha atau Pemberi Kerja kepada karyawannya sesuai
Pasal 156 Ayat (1).
Upaya Hukum Bagi Pekerja
Jika pekerja atau karyawan tidak dapat menerima
permintaan pengusaha tersebut maka dapat dilakukan penyelesaian perselisihan sesuai
ketentuan dalam pasal 3 sampai dengan 155 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004.
Sebelum perselisihan diajukan kepada lembaga
penyelesaian perselisihan, setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya
secara bertahap sebagai berikut :
1. Bipartit
secara bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja dan
pengusaha. Perundingan bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya bipartit diatur dalam
Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004.
2. Mediasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 UUPPHI, mediasi
hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral. Upaya mediasi diatur dalam pasal 8 sampai dengan pasal 16
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
3. Konsiliasi
Berdasarkan ketentuan pasal 1
angka 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004, Konsiliasi hubungan industrial yang
selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator. Konsiliasi diatur dalam pasal 17
sampai dengan pasal 28 UUPPHI.
4. Arbitrase
Lembaga yang berwenang
untuk menjadi wasit dalam perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat
pekerja. Yang bertugas menjadi wasit adalah arbiter. Para arbiter ini dapat
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh menteri. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15 Undang Undang Nomor
2 Tahun 2004, arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar pengadilan
hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Arbitrase diatur dalam pasal
2 sampai dengan pasal 53 UUPPHI.
5. Pengadilan Hubungan Industrial (Pengadilan HI)
Pengadilan HI merupakan pengadilan khusus yang berada
pada lingkungan peradilan umum, yang dibentuk pada pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung. Tugas pokok dari pengadilan hubungan industrial adalah
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.
Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dari
pengadilan HI disebutkan dalam pasal 56 UUPPHI, yakni : Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus : a. Ditingkat pertama
mengenai perselisihan hak b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan kepentingan.
Demikian semoga bermanfaat.
Sumber : UUK, UUPHI, Hukumonline.com, gadjian.com
13 Asri Wijayanti, Op.cit, hlm.188
7
c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja d. Ditingkat pertama dan terakhur mengenai perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.14
III. KESIMPULAN Pemutusan hubungan kerja yang dapat terjadi karena telah
berakhirnya waktu
Perjanjian Kerja
Hak Karyawan
Kewajiban Pemberi Kerja
Pemutusan Hubungan Kerja
Komentar